Kamis, 06 Oktober 2011

Tanya Jawab

Pertanyaan:
Ustadzah punya hasil Muktamar NU yang tidak membolehkan Melakukan "Tahlilan" ???

Jawaban:
Terimakasih Bapak Susilo atas berkenannya mengunjungi Blog Kami, berukut data yang bapak minta:
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan.
Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI :
§ Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
§ Masalah Keagamaan Jilid 1 - Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.
Sumber : KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)

Tanya Jawab

Pertanyaan:
Ustadzah bagaimana sebenarnya tentang tradisi masyarakat tentang Tahlilan menurut perspektif Islam?

Jawaban:
Saudaraku yang semoga dimuliakan Alloh Subhanahu Wata'ala,
Pelaksanaan Tahlilan, hadiah bacaan dan do'a arwah.
Setelah dia meninggal dunia, dia atau nafsnya (jiwanya) diletak di suatu tempat di mana sebuah tembok, atau barzakh, diadakan untuk memisahkan dia dengan segala yang lain. Firman-Nya,
"apabila kematian datang kepada seorang daripada mereka ....... dan di belakang mereka ada barzakh (tembok) hingga hari mereka dibangkitkan" (23:99-100).
Tembok itu pula tidak mampu ditembusi oleh apa-apa atau sesiapa jua. Maka apa saja yang "dikirim" kepada orang yang sudah meninggal dunia, seperti dalam bentuk tahlil, tidak akan sampai kepadanya.
Ia juga termasuk hadiah bacaan ayat-ayat al-Qur'an yang turut tidak sampai kepada orang-orang yang sudah mati. Lagipun, seperti kata Allah, ayat-ayat-Nya adalah untuk orang-orang yang hidup sahaja. Firman-Nya,
"Ia hanyalah satu Peringatan, dan sebuah al-Qur'an yang jelas. Supaya dia memberi amaran kepada sesiapa yang hidup," (36:69-70)
Tidak juga berguna bagi orang-orang yang meninggal dunia ialah doa orang-orang yang hidup. Tidak ada doa seperti itu yang diajar di dalam al-Qur'an. Namun begitu, terdapat satu doa tetapi bukan untuk mereka yang sedang mati di dalam kubur. Doa tersebut adalah untuk mereka pada Hari Kiamat, dan ia berbunyi,
"Wahai Pemelihara kami, ampunilah aku dan ibu bapaku, dan orang-orang mukmin, pada hari apabila perhitungan didirikan." (14:41)
Malah, di dalam kitab amalan seseorang, yang dia akan terima pada Hari Kiamat, tidak terdapat catatan atas apa yang dikirim kepadanya setelah dia meninggal dunia. Kitab itu hanya mencatatkan segala apa yang dia sendiri telah dibuat semasa dia hidup. Firman Allah,
"Inilah Kitab Kami, yang berkata-kata terhadap kamu yang benar; Kami mencatat segala apa yang kamu buat." (45:29)
Tambahan lagi, tiap-tiap jiwa akan hanya dibayar atau dibalas atas apa yang dia sendiri mengusahakan. Bukan yang diusahakan oleh orang lain kepadanya. Ayat-ayat berikut menjelaskannya:
"Dan takutilah akan satu hari di mana kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian tiap-tiap jiwa dibayar sepenuhnya apa yang ia telah mengusahakan, dan mereka tidak dizalimi." (2:281)
"Kerana Allah akan membalas tiap-tiap jiwa atas usahanya (sendiri);" (14:51)
Sesungguhnya, segala usaha adalah untuk diri sendiri bukan untuk orang lain. Firman-Nya,
"Tiap-tiap jiwa mengusahakan hanya terhadapnya sendiri" (6:164).
Kesimpulannya, tidak terdapat sebarang bukti daripada al-Qur'an bahawa Allah telah mensyariatkan sebarang kiriman kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia. Lantaran itu, dalam agama-Nya, amalan-amalan seperti tahlil, hadiah bacaan al-Qur'an, dan doa demi menolong orang-orang yang meninggal dunia, seperti yang dilakukan oleh orang-orang daripada sesetengah agama lain yang mengirim sesuatu kepada orang-orang yang mati, adalah hanya membazir sahaja. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membazir.
e_bacaan@yahoo.com